Jumat, 02 Juli 2010

PENATALAKSANAAN DIET PADA PENDERITA SEPSIS, ABSES VULVA (LABIA MAYORA), DM TIPE II DI PAVILIUN SERUNI RSU KABUPATEN TANGERANG 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan gizi merupakan bagian dari pelayanan kesehatan di rumah sakit yang mempunyai peranan penting dalam mempercepat tercapainya tingkat kesehatan yang optimal. Berdasarkan surat keputusan Men Kes No. 134 tahun 1987, kegiatan pokok pelayanan gizi Rumah sakit meliputi : kegiatan pengadaan makanan, kegiatan pelayanan gizi ruang rawat inap, kegiatan penyuluhan, konsultasi gizi dan rujukan gizi, dan kegiatan penelitian dan pengembangan gizi terapan
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka semua sub sistem pelayanan yang ada di rumah sakit perlu dilakukan secara teratur dan terpadu. Fasilitas dan pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit diantaranya adalah Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) yang merupakan sarana yang sangat penting dalam memberikan gizi ruang rawat inap, penyuluhan dan konsultasi gizi serta pengembangan gizi terapan.
Tujuan PGRS adalah mencapai keadaan gizi yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi baik untuk metabolisme tubuh, meningkatkan kesehatan atau untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien rawat inap. Pelayanan gizi di ruang rawat inap merupakan salah satu bentuk pelayanan gizi rumah sakit, dimana pasien yang dirawat diberikan makanan yang sesuai dengan keadaan penyakit yang diderita untuk mempercepat penyembuhan dan memperpendek hari rawat inap. Pengaturan makanan bagi pasien di rumah sakit bukanlah merupakan tindakan yang berdiri sendiri atau terpisah dari perawatan dan pengobatan melainkan merupakan satu kesatuan dalam proses penyembuhan penyakit.
Sakit merupakan suatu keadaan dengan gangguan kemampuan individu memenuhi kebutuhan fisik, psikologi dan sosial untuk berfungsi secara tepat sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan. Biasanya, manusia baru menghargai kesehatannya bila menderita sakit. Disaat itulah terasa bahwa kesehatan adalah modal berharga untuk hidup berkarya, berharga dan bermartabat (Irianto, 2004).
Sepsis merupakan salah satu komplikasi infeksi pada trauma atau penyakit, yang memberi gambaran klinis berat disertai perubahan status metabolisme dan status gizi yang kompleks. Pasien yang sakit berat baik disebabkan oleh sepsis, trauma atau penyakit, menunjukkan sekumpulan respons inflamasi sistemik yang mengganggu fungsi imun dan penyembuhan luka dan lebih lanjut dapat menyebabkan fungsi disfungsi paru, ginjal, sistem gastro intestinal dan hati, memperpanjang waktu perawatan dan meningkatkan mortalitas.
Abses (abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Diabetes mellitus tipe 2 (non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Ketiga penyakit tersebut sangat membutuhkan penatalaksanaan khusus karena memerlukan energi yang cukup untuk memenuhi proses anabolisme dan katabolisme dalam tubuh. Selain itu memerlukan perhatian lebih terhadap jumlah, jadwal dan waktu makan yang sesuai dengan jenis penyakit tersebut. Oleh karena itu, sebagai calon ahli gizi, mahasiswa harus mampu melaksanakan penatalaksanaan diit untuk berbagai penyakit komplikasi sesuai dengan tujuan praktik kerja lapangan manajemen asuhan gizi klinik dengan melakukan studi kasus di RSU Tangerang.



B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Pada akhir praktek kerja lapangan, mahasiswa mampu melaksanakan Manajemen Asuhan Gizi Klinik Dasar dan Lanjut pada pasien di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang yang meliputi analisis tentang pengkajian, perencanaan, penerapan, evaluasi dan membuat laporan penelitian, menyusun dan menyajikan laporan studi kasus.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
a. Melaksanakan Asuhan Gizi Klinik kepada pasien dewasa di paviliun Seruni dengan penyakit sepsis, abses vulva (Labia mayora) dan DM tipe II (pengkajian, perencanaan, penerapan dan evaluasi.)
b. Melaksanakan Manajemen Asuhan Gizi Klinik kepada pasien dewasa di paviliun Seruni dengan penyakit sepsis, abses vulva (Labia mayora) dan DM tipe II (pengkajian, perencanaan, penerapan dan evaluasi.)
c. Melaksanakan konsultasi gizi terhadap pasien dewasa di paviliun Seruni dengan penyakit sepsis, abses vulva (Labia mayora) dan DM tipe II.




C. Metode
Metode yang digunakan dalam melaksanakan studi kasus ini antara lain sebagai berikut :
1. Wawancara
Wawancara dilakukan pada pasien dan keluarga pasien mengenai pola makan dan kebiasaan makan pasien sebelum masuk rumah sakit, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga serta keadaan sosial ekonomi pasien.
2. Observasi
Observasi (pengamatan) yang dilakukan kepada pasien selama 3 hari berturut-turut mengenai asupan makan, perkembangan umum dan fisik pasien secara langsung melalui data rekam medik pada buku status pasien.
3. Recall dan record
Recall dilakukan untuk mengetahui kebiasaan makan pasien sebelum masuk rumah sakit dan memantau asupan makan pasien selama dalam perwatan di rumah sakit dan dihitung nilai gizinya dengan satuan bahan penukar dan CD menu.

D. Waktu dan Lokasi
Waktu pelaksanaan kegiatan praktek kerja lapangan MAGK dilaksanakan mulai tanggal 11 Juni – 02 Juli 2010, yang berlokasi di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang.



E. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
a. Dapat menambah wawasan dan kemampuan dalam penatalaksanaan diet pada pasien diabetes mellitus, sepsis dan abses vulva (labia mayora) pada ruang rawat inap seruni di RSU Kabupaten Tangerang.
b. Dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam pelayanan gizi di RSU Kabupaten Tangerang.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi pihak rumah sakit khususnya instalasi gizi terhadap hal-hal yang ditemukan selama melakukan studi kasus yang akan diperbaiki dan ditingkatkan pada masa yang akan datang.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sepsis
1. Definisi
Sepsis adalah tanggap tubuh terhadap infeksi. Infeksi yang disebabkan mikroorganisme atau “germs”(umumnya bakteri) masuk dalam tubuh, dan terbatas di bagian tubuh (misal: abses gigi) atau menyebar keseluruh peredaran darah (disebut septikemia) atau ‘keracunan darah “ Semua orang dapat berisiko sepsis karena infeksi ringan (misal influenza, infeksi saluran kencing, gastroenteritis dll). Sepsis dapat terjadi pula pada orang termuda (bayi premature) atau orang tua, sistem kekebalan (system immune) lemah (compromised), pengobatan kemoterapi, steroid untuk keadaan keradangan (inflamasi), mempunyai kebiasaan peminum alkohol atau obat, mendapat pengobatan atau pemeriksaan (kateter iv, tirisan /drain luka, kateter kemih (urin), kemudahan menderita sepsis karena faktor genetik. Sepsis sering terjadi di rumah sakit sebab kemajuan teknik kedokteran berkaitan dengan pengobatan. Jumlah penderita tua atau lemah dan penderita dengan penyakit lain yang menyertai kanker dan memerlukan pengobatan. Pemakaian antibiotika yang luas, yang mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme yang menjadi rentan (resisten) obat. Sepsis dibedakan atas tiga bentuk yaitu:
1. Sepsis tanpa penyulit (komplikasi)
2. Sepsis berat
3. Renjatan sepsis (Shock)
2. Patogenesis
Patogenesis sepsis masih belum jelas benar, kaskade inflamasi umumnya sangat dipengaruhi oleh sitokin atau mediator inflamasi. Mediator ini bertanggung jawab terhadap kerusakan endotel kapiler. Diyakini ada mekanisme yang akan menghambat kerja dari mediator tersebut sehingga terjadi keseimbangan antara sel proinflamasi dan antiinflamasi. Bila reaksi tubuh tersebut berlebihan maka keseimbangan tadi akan terganggu dan tubuh tidak dapat mengatasi hal tersebut. Endotoksin yang masuk sirkulasi akan memacu makrofag untuk mengeluarkan mediator, misalnya TNF dan interleukin-1. Sitokin proinflamasi ini merangsang terjadinya adhesi netrofil dan endotel vaskular, aktivasi faktor pembekuan darah dan terbentuknya mediator-mediator lain seperti PAF (platelet activating factor), protease, prostaglandin, leukotrien dan juga dibebaskannya sitokin antiinflamasi seperti nterleukin-6 dan interleukin-1.
Melalui proses ini juga akan dirangsang sistem komplemen dan akan mengakibatkan pula neutrofil teraktivasi dan keluarnya radikal bebas yang toksik terhadap sel. Mediator tersebut juga akan menyebabkan depresi miokard sehingga dapat menimbulkan renjatan. Pada akhirnya mediator-mediator tersebut akan mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler sehingga terjadi kaskade sepsis dengan akibat terjadi kegagalan multi organ dan kematian.



3. Gambaran Klinis
Sepsis didefinisikan sebagai respons inflamasi sistemik. Respons inflamasi ini terjadi karena karena infeksi. Kemajuan di invasi mikroorganisme ke dalam jaringan.bidang teknologi dan aplikasi kedokteran meningkatkan risiko terjadinya sepsis seperti: penggunaan kateter, alat invasif, implantasi prosthesis, pemakaian obat antikanker, kortikosteroid dan imunosupresif lain pada penyakit inflamasi atau transplantasi organ Setiap tahun sepsis terjadi pada lebih dari 500.000 penderita di Amerika Serikat dan hanya 55-65% yang dapat Angka kematian ini berkisar dari 16% pada penderita dengan sepsis dan 40-60% pada penderita dengan renjatan septik. Kematian dini pada penderita dengan renjatan septik (kurang dari 14 hari) terutama disebabkan oleh respons inflamasi sistemik akut, sedangkan kematian berikutnya merupakan akibat hipotensi refrakter yang disebabkan tahanan vaskular sistemik menurun dan gangguan fungsi organ multipel (multiple organ dysfunction syndrome = MODS) sehingga organ vital mengalami hipoperfusi dengan akibat gagal organ multipel di mana, homeostasis tak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi.

4. Diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya dua atau lebih manifestasi respons inflamasi sistemik dan kecurigaan terdapatnya infeksi. Paru adalah organ yang paling sering ditemukan mengalami infeksi, diikuti oleh abdomen dan saluran kemih, tetapi pada 20-30% penderita lokasi pasti terjadinya infeksi tidak dapat ditentukan. Pada sepsis, pemeriksaan mikrobiologi tidak selalu menunjukkan Kultur darah positif hanya terdapat adanya kuman positif. pada kurang lebih 30%. Penderita yang termasuk rentan terhadap sepsis seperti: usia lanjut, malnutrisi, imunodefisiensi, kanker, penyakit kronik, trauma, luka bakar, diabetes melitus, prosedur invasif, pemakaian imunosupresi dan transplantasi.
Beberapa perkembangan pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis dan menilai prognosis adalah pemeriksaan prokalsitonin, laktat, lipopolisakarida (Limulus). Susunan prokalsitonin terdiri dari dan jamur (glukan). 116 asam amino dengan berat molekul 13 kD. Prokalsitonin ini diduga diproduksi oleh sel neuroendokrin paru dan usus, pada keadaan normal kadarnya <0,1 ng/ml. Pada penelitian plasma orang sehat dan pasca injeksi endotoksin terjadi peningkatan prokalsitonin setelah jam kedua. Fungsi pasti prokalsitonin belum diketahui tetapi diduga menghambat asam arakidonat, mirip dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Tes Limulus merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi endotoksin yang didasarkan atas kemampuan endotoksin menginduksi pembekuan lisat amebosit kepiting tapal kuda (Limulus sp). Prinsipnya bila endotoksin dicampur dengan reagen Limulus akan terbentuk gel, akibatnya hantaran cahaya akan menurun berdasarkan perhitungan dengan metode turbidimetri kinetik menggunakan alat toksinometer. Tes glukan adalah pemeriksaan untuk menentukan kadar (1->)--D-glukan di dalam serum dengan menggunakan reagen Limulus. Pada kasus jamur sistemik kadar (1->)--D-glukan dalam serum dapat diukur dengan menggunakan metode turbidimetri kinetik. Saat ini di Subbagian Penyakit Tropik - Infeksi Bagian Penyakit Dalam FKUI / RSUPN-CM sudah dapat dilakukan pemeriksaan endotoksin dan tes glukan sedangkan pemeriksaan prokalsitonin sedang dalam persiapan.

5. Komplikasi
Sepsis dan komplikasinya (seperti: renjatan septik, sindrom gagal napas dan lainnya) memerlukan penanganan yang intensif di ruang perawatan. Saat ini meskipun berbagai kemajuan telah dicapai dalam diagnosis dan terapi tetapi angka mortalitas sepsis masih cukup tinggi, diharapkan dengan berkembangnya pemahaman mengenai patogenesis sepsis akan berakibat pada penanganan yang lebih baik dari sepsis dan komplikasinya.
6. Pengobatan
a. Antibiotika, selalu diberikan pada pasien sepsis, sering mengganggu absorpsi nutrient.
b. Steroid, kadang-kadang diberikan dan dapat menyebabkan peningkatan ekskresi nitrogen, hiperglikemia, retensi sodium dan peningkatan ekskresi potassium.
7. Pelaksanaan Diit
Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis karena mempunyai kebutuhan kalori dan protein yang tinggi. Saat ini masih terjadi perdebatan mengenai kapan dimulai nutrisi enteral, komposisi dan jumlah yang diberikan. Nutrisi enteral dapat ditunda untuk beberapa saat sampai keadaan stabil (misal: 1-2 hari), keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain dapat dipertahankan buffer pH lambung dan mukosa usus, menghindari translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi dan menghindari pemakaian kateter nutrisi parenteral yang akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi baru.
B. Abses vulva
1. Definisi
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah. Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.

2. Tanda dan Gejala
Gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ atau saraf. Gejalanya bias berupa :
a. Nyeri
b. Nyeri tekan
c. Teraba hangat
d. Pembengkakan
e. Kemerahan
f. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai suatu benjolan. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis. Suatu abses didalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala seringkali terlebih dahulu tumbuh menjadi lebih besar. Abses dalam mungkin menyebarkan infeksi keseluruh tubuh.
3. Gambaran Klinis
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni: kemerahan (rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap jaringan solid, tetapi paling sering terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil. Komplikasi mayor abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (gangren).
Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakhea.
4. Diagnosis
Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses dalam seringkali sulit ditemukan. Pada penderita abses, biasanya pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dalam, bisa dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT scan atau MRI.
5. Pengobatan
Suatu abses seringkali membaik tanpa pengobatan, abses pecah dengan sendirinya dan mengeluarkan isinya. Kadang abses menghilang secara perlahan karena tubuh menghancurkan infeksi yang terjadi dan menyerap sisa-sisa infeksi. Abses tidak pecah dan bisa meninggalkan benjolan yang keras. Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah, sehingga pemberian antibiotik biasanya sia-sia. Antibiotik bisa diberikan setelah suatu abses mengering dan hal ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan. Antibiotik juga diberikan jika abses menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya.

C. Diabetes Mellitus tipe II
1. Definisi
Diabetes mellitus tipe 2 (non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati. NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia, lipodistrofi, dan sindrom resistansi insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugarkan kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban rendah.
2. Patogenesis
Diabetes Mellitus tipe 2 disebut juga dengan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) terjadi karena kombinasi dari kecacatan dalam produksi insulin dan resistensi terhadap insulin atau berkurangnya sensitifitas terhadap insulin (adanya efek respon jaringan terhadap insulin) yang melibatkan reseptor insulin di membran sel.
Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitif terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Padaan tahap ini, hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulinpun semakin berkurang dan terapi dengan insulin terkadang dibutuhkan.

3. Gambaran Klinis
a. Kelelahan yang luar biasa
b. Pasien akan merasakan tubuhnya lemas walaupun tidak melakukan aktifitas yang terlalu berat.
c. Penurunan berat badan secara drastis.
d. Gangguan penglihatan.
e. Kadar gula yang tinggi dalam darah akan menarik cairan dalam sel keluar, hal ini akan menyebabkan sel menjadi keriput.
f. Sering terinfeksi dan bila luka, sulit sekali sembuh.
g. Sering merasakan gatal pada lipatan-lipatan kulit.
4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kadar gula darah dalam tubuh. Kadar gula darah normal adalah < 200 mg/dl.



5. Komplikasi
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik. Hipoglikemi.
6. Pengobatan
Obat oral anti diabetes dipakai untuk NIDDM, dimana obat ini akan menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi glukosuria dengan jalan menstimulasi sel beta pancreas untuk mensekresikan insulin endogenus. Obat ini hanya untuk pasien yang sel beta pankreasnya masih bias dirangsang untuk menghasilkan insulin. Obat ini juga dapat meningkatkan jumlah peningkatan insulin reseptor.
7. Pelaksanaan Diit
a. Diet normal yang mengandung energi untuk aktifitas dan mempertahankan berat badan ideal, dan cukup karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
b. Menurunkan tingkat keparahan dari penyakit diabetes dengan memperbaiki kemampuan tubuh untuk metabolisme glukosa.
c. Pastikan mendapatkan gizi yang baik, walaupun jumlah kalori dikurangi.
d. Kontrol makanan dengan prinsip 3 J (tepat jumlah, jenis, jadwal).
BAB III
GAMBARAN PENDERITA
A. Identitas Penderita
1. Nama : Ny.Sm
2. No. CM : 04324753
3. Umur : 50th
4. Jenis kelamin : wanita
5. Tinggi Badan : 160 cm
6. Berat Badan : 50 kg
7. Tanggal MRS : 14 Juni 2010
8. Ruangan : Seruni / kelas I / kamar I / Bed II
9. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
10. Agama : Islam
11. Alamat : Jl. Ciselong RT 02/01 Cengkareng
12. Diagnosa : Sepsis, abses vulva (Labia Mayora), DM tipe II
13. Diet awal : BB DM 1900 kal
14. Skrinning Awal :
NO INDIKATOR
1 Perubahan BB (+)
2 Nafsu Makan Kurang (+)
3 Kesulitan Mengunyah / menelan (+)
4 Mual dan muntah (+)
5 Diare / konstipasi (-)
6 Alergi / intoleransi zat gizi (-)
7 Diet khusus (+)
8 Parenteral / enteral (+)

B. Data Subyektif
1. Keluhan Utama
Nyeri perut bagian bawah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien tidak nafsu makan, mual muntah, sejak 3 hari SMRS mengeluh nyeri perut bagian bawah, demam sejak 3 hari SMRS.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat penyakit DM tipe II
4. Riwayat Penyakit Keluarga (-)
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan 5 orang anak. Suami pasien bekerja sebagai pedagang.
6. Riwayat Gizi
Pasien dan keluarga pasien kurang mendapatkan pengetahuan dan pendidikan tentang pola makan yang sesuai dengan kebutuhan pasien dengan DM tipe II.







C. Data Obyektif
1. Data Antropometri
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 50 kg
Berat badan ideal : 54 kg
Body Mass index : 19,53 kg/m2 status gizi normal

2. Data Laboratorium
No Jenis Pemeriksaan Lab Hasil nilai laboratorium Nilai normal
16-06-2010 17-06-2010 18-06-2010
1 Hemoglobin 10,10 (↓) 9,0 (↓) 8,9 (↓) 12 – 14 g/dl
2 Leukosit 25rb (↑) 18.900 (↑) 14.900 (↑) 4.000 – 10.000
3 Hematokrit 31 (↓) 27 (↓) 27 (↓) 36 – 46%
4 Trombosit 133rb (↓) 137rb (↓) 128rb (↓) 150-450x103
5 Ureum 20 (N) <50 mg/dl
6 Kreatinin 0,5 (N) < 1,1 mg/dl
7 GDS 428 mg/dl (↑) 308 mg/dl (↑) 331 mg/dl (↑) <200 mg/dl
8 SGOT 48 (N) 48 u/l
9 SGPT 40 (N) 40 u/l

3. Data Fisik - klinis
No Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Ket
16-06-2010 17-06-2010 18-06-2010
1 Keadaan Umum CM CM CM N
2 Nadi 80x/mnt 82x/mnt 85x/mnt N
3 Suhu 37°C 37°C 37°C N
4 Pernapasan 20x/mnt 23x/mnt 21x/mnt N
5 Tekanan darah 100/60 100/70 100/80 N

D. Assesment
Ny. SM, usia 50 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 14 Juni 2010 dengan keadaan umum nyeri perut yang memberat. Sejak ±2bulan SMRS, pasien mengeluh nyeri perut awalnya didaerah ulu hati, nyeri terus menerus hilang saat minum obat anti sakit, tetapi nyeri lama-lama menyebar keseluruh perut. Demam 3hari SMRS. Pasien merasa mual dan muntah. Terjadi penurunan berat badan dalam 2 bulan terakhir dari 65 kg menjadi 50 kg. Saat ini BAB baik tetapi BAK terasa sakit.
Pasien tidak memliki alergi dan pantangan terhadap makanan, hanya saja pola makan pasien dirumah tidak teratur. Suka mengkonsumsi daging sapi dan bubur kacang hijau sebagai menu sarapan. Pasien mempunyai riwayat penyakit DM tipe II.

E. Planning
1. Nutrition Diagnosis
a. Domain Intake
Asupan makan yang kurang berkaitan dengan ketidakmampuan pasien mengkonsumsi makanan akibat kesulitan mengunyah dan menelan serta nafsu makan berkurang dengan hasil recall SMRS yaitu energi sebesar 64,59%, protein 47,66%, lemak 59,62% dan karbohidrat 65%.

b. Domain clinic
1) Adanya peningkatan nilai laboratorium gula darah sewaktu yang disebabkan oleh diabetes mellitus tipe II dan ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium GDS yaitu 428 mg/dl
2) Adanya peningkatan kadar leukosit yang disebabkan oleh abses vulva dan ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan leukosit yaitu 25rbu mg/dl.
3) Adanya tanda-tanda anemia berupa mata cekung, konjungtiva pucat yang ditunjukkan dengan hasil pemriksaan kadar Hb 8,9 mg/dl.

c. Domain behavior
Pola makan yang tidak teratur yang disebabkan oleh kurangya pengetahuan pasien dan kelurga pasien mengenai pola makan penderita diabetes mellitus yang ditunjukkan melalui riwayat gizi pasien.


2. Nutrition Intervention
a. Plan of Action
1) Diet yang diberikan adalah diet DM 1900 kal
2) Bentuk makanan yang diberikan adalah makanan lunak bubur
3) Tujuan Diet :
a) Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.
b) Mempertahankan berat badan normal
c) Menurunkan kadar glukosa darah supaya mendekati normal dengan menyeimbangkan asupan makanan
4) Syarat Diet :
a) Energi sesuai dengan kebutuhan pasien yaitu 1971,18 kal
b) Protein tinggi yaitu 2,0 g/kg BB yaitu 100 g atau setara dengan 400 kal yang berarti 21,74% dari energi.
c) Lemak sedang yaitu 20% dari total energi yaitu 43,80 g atau setara dengan 394,23 kal.
d) Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari kebutuhan energi total yaitu 59,70% sebesar 1176,95 kal atau setara dengan 294,23 g.
e) Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu.
f) Penggunaan gula alternatif dalam jumlah terbatas
g) Asupan serat dianjurkan 25 g/hari dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat di dalam sayur dan buah. Menu seimbang rata-rata memenuhi kebutuhan serat sehari.
h) Cukup vitamin dan mineral. Asupan dari makanan cukup, penambahan vitamin dan mineral dalam bentuk suplemen tidak diperlukan.
b. Kebutuhan Zat Gizi
Sebelum masuk RS
Menggunakan rumus Harris Benedict :
BEE = 655,1 + 9,66 (W) + 1,85 (H) – 6,78 (A)
= 655,1 + 9,66 (54) + 1,85 (160) – 6,78 (50)
= 655,1 + 521,64 + 296 – 339
= 1472,74 – 339
= 1133,74 Kal
TEE = BEE x FA x FS
= 1133,74 x 1,2 x 1,3
= 1768,63 kal
Protein = 15% dari total energi
= 265,29 kal
= 66,32 g
Lemak = 20% dari total energi
= 353,72 kal
= 39,30 g
Karbohidrat = 65% dari total energi
= 1149,60 kal
= 287,40 g

Setelah dirawat di rumah sakit
Menggunakan rumus Harris Benedict :
BEE = 655,1 + 9,66 (W) + 1,85 (H) – 6,78 (A)
= 655,1 + 9,66 (50) + 1,85 (160) – 6,78 (50)
= 655,1 + 488 + 296 – 339
= 1434,1 – 339
= 1095,1 kal
TEE = BEE x Faktor Aktivitas x Faktor Stres
= 1095,1 kal x 1,2 x 1,5
= 1971,18 kal

Protein = 2,0 g/kg BB
= 100 g
= 400 kal
= 21,74 %

Lemak = 20% x total energi
= 394,23 kal
= 43,80 g
Karbohidrat = 1971,18 kal – (400 kal + 394,23 kal)
= 1971,18 kal – 794,23 kal
= 1176,95 kal
= 294,23 g = 59,70 %
Vitamin dan Mineral berdasarkan AKG yaitu :
Besi = 12 mg
Asam Folat = 400 ug

c. Asupan Makan Pasien
Persentase pembagian makan sehari
Makan pagi 25% x E = 492,79 kal
Snack pagi 10% x E = 197,11 kal
Makan siang 30% x E = 591,35 kal
Snack sore 10% x E = 197,11 kal
Makan sore 25% x E = 492,79 kal
Rute : oral
Frekuensi : 3x makanan utama (lunak bubur) dan 2x makanan selingan.
Edukasi melalui bed site teaching :
a. Prinsip mengatur makanan pada pasien dengan diabetes mellitus
b. Satuan bahan penukar makanan
c. Tujuan dan pemberian terapi gizi selama rawat inap.

d. Rencana Monitoring dan Evaluasi
1. Monitoring
a) Asupan zat gizi
b) Daya terima pasien terhadap bentuk makanan
c) Laboratorium : GDS
d) Gejala/keluhan : mual dan muntah

2. Evaluasi
a) Apakah asupan zat gizi Ny.Sm sudah membaik?
b) Apakah kadar GDS Ny.Sm sudah mendekati normal?
c) Apakah bentuk makanan yang diberikan kepada Ny.Sm dapat diterima?












BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Intervensi Hari Pertama
Hasil skrinning tanggal 16 Juni 2010 (setelah makan siang)
NO INDIKATOR
1 Perubahan BB (-)
2 Nafsu Makan Kurang (+)
3 Kesulitan Mengunyah / menelan (+)
4 Mual dan muntah (+)
5 Diare / konstipasi (-)
6 Alergi / intoleransi zat gizi (-)
7 Diet khusus (+)
8 Parenteral / enteral (+)

Domain Intake :
Asupan makanan secara oral masih kurang berkaitan dengan nafsu makan dan kesulitan mengunyah yang dibuktikan dengan asupan makanan oral hingga makan siang yaitu, energi sebesar 58,93%, protein 59,10%, lemak 71,07% dan karbohidrat 67,35%.
Planning (untuk makan sore pasien):
a. Meningkatkan asupan makanan sesuai dengan kondisi pasien
b. Mengganti jenis makanan dari bubur biasa menjadi bubur blender
c. Mengkombinasikan makanan biasa dengan makanan cair
d. Energi yang diberikan untuk makanan biasa adalah 1071,18 kal dan untuk makanan cair diberikan MC DM 6x150 cc
2. Intervensi Hari Kedua
Hasil skrinning tanggal 17 Juni 2010
NO INDIKATOR
1 Perubahan BB (-)
2 Nafsu Makan Kurang (+)
3 Kesulitan Mengunyah / menelan (+)
4 Mual dan muntah (+)
5 Diare / konstipasi (-)
6 Alergi / intoleransi zat gizi (-)
7 Diet khusus (+)
8 Parenteral / enteral (+)
Domain Intake :
Asupan makanan secara oral masih kurang berkaitan dengan nafsu makan dan kesulitan mengunyah yang dibuktikan dengan asupan makanan oral hingga makan siang yaitu, energi sebesar 64,07%, protein 69,64%, lemak 83,10% dan karbohidrat 67%.
a. Meningkatkan asupan makanan sesuai dengan kondisi pasien
b. Energi yang diberikan untuk makanan biasa adalah 1071,18 kal dan untuk makanan cair diberikan MC DM 6x150 cc
Pemberian Makan
Makanan biasa 1071,18 kal Makanan cair 900 kal
Makan pagi 25% x Energi : 267,79 kal MC DM 150 kal
Snack pagi 10% x Energi : 107,11 kal MC DM 150 kal
Makan siang 30% x Energi : 321,35 kal MC DM 150 kal
Snack sore : 57,11 kal MC DM 200 kal
Makan sore : 217,79 kal MC DM 200 kal
MC DM 150 kal

3. Intervensi Hari Ketiga
Hasil skrinning tanggal 18 Juni 2010
NO INDIKATOR
1 Perubahan BB (-)
2 Nafsu Makan Kurang (+)
3 Kesulitan Mengunyah / menelan (+)
4 Mual dan muntah (+)
5 Diare / konstipasi (-)
6 Alergi / intoleransi zat gizi (-)
7 Diet khusus (+)
8 Parenteral / enteral (+)
Domain Intake :
Asupan makanan secara oral masih kurang berkaitan dengan nafsu makan dan kesulitan mengunyah yang dibuktikan dengan asupan makanan oral energi sebesar 71,10%, protein 75%, lemak 63,92% dan karbohidrat 70,36%.
Planning :
b. Meningkatkan asupan makanan sesuai dengan kondisi pasien
c. Meningkatkan energi pada makanan cair
d. Energi yang diberikan untuk makanan biasa adalah 771,18 kal dan untuk makanan cair diberikan MC DM 6x200 cc
Pemberian Makan
Makanan biasa 771,18 kal Makanan cair 1200 kal
Makan pagi 25% x E : 192,95 kal MC DM 200 kal
Snack pagi 10% x E : 77,11 kal MC DM 200 kal
Makan siang 30% x E : 231,35 kal MC DM 200 kal
Snack sore 10% x E : 77,11 kal MC DM 200 kal
Makan sore 25% x E : 192,95 kal MC DM 200 kal
MC DM 200 kal
Hasil skrining untuk intervensi hari ketiga
NO INDIKATOR
1 Perubahan BB (-)
2 Nafsu Makan Kurang (+)
3 Kesulitan Mengunyah / menelan (+)
4 Mual dan muntah (-)
5 Diare / konstipasi (-)
6 Alergi / intoleransi zat gizi (-)
7 Diet khusus (+)
8 Parenteral / enteral (+)
Domain Intake :
Asupan makanan secara oral masih kurang berkaitan dengan nafsu makan dan kesulitan mengunyah yang dibuktikan dengan asupan makanan oral energi sebesar 82,78, protein 80,54%, lemak 73,53% dan karbohidrat 79,73%.
Planning :
a. Mengganti bentuk makanan pasien secara bertahap menjadi bubur biasa
b. Mengkombinasikan makanan biasa (bubur) dengan makanan cair.



B. Pembahasan
1. Monitoring Perkembangan Status Gizi
Data antropometri pasien pada saat masuk rumah sakit (MRS) seperti BB 65 kgdan TB 160 cm, bila dilihat dari hasil IMT, status gizi pasien yaitu overweight (25,39 kg/m2). Namun berat badan pasien menurun jika dibandingkan dengan berat badan SMRS yaitu dari 65 kg menjadi 50 kg, hal ini disebabkan oleh nafsu makan pasien berkurang, kesulitan mengunyah dan menelan serta mual dan muntah.

2. Monitoring Data Klinis
Ny. SM, usia 50 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 14 Juni 2010 dengan keadaan umum nyeri perut yang memberat. Sejak ±2bulan SMRS, pasien mengeluh nyeri perut awalnya didaerah ulu hati, nyeri terus menerus hilang saat minum obat anti sakit, tetapi nyeri lama-lama menyebar keseluruh perut. Pasien merasa mual dan muntah. Terjadi penurunan berat badan dalam 2 bulan terakhir dari 65 kg menjadi 50 kg. Saat ini BAB baik tetapi BAK terasa sakit. Pemeriksaan klinis pada saat pasien pemantauan di hari pertama yaitu keadaan umum pasien compos mentis, hingga 3 hari dilaksanakan intervensi. Tekanan darah pasien pada hari pertama 100/60 mmHg, pada hari kedua 100/70 mmHg dan pada hari ketiga yaitu 100/80 mmHg. Rata-rata denyut nadi selama 3 hari intervensi normal yaitu 82x/menit, pernapasan 21x/menit dengan suhu tubuh normal yaitu 37C.



3. Monitoring Data Laboratorium
Hasil pemeriksaan data laboratorium pertama pada tanggal 16 Juni 2010 menunjukkan bahwa kadar hemoglobin (Hb) pasien rendah yaitu 10,10 g/dl hingga hari terakhir dilakukan intervensi Hb pasien tetap rendah yaitu 8,9 g/dl. Kadar leukosit tinggi yaitu 25.000/ml dan pada hari terakhir intervensi kadar leukosit menurun tetapi masih diatas normal yaitu 14.900/ml. hematokrit rendah yaitu rata-rata selama 3 hari intervensi yaitu 28% dan gula darah sewaktu fluktuatif yaitu pada hari pertama nilai laboratorium gula darah sewaktu pasien adalah 428 mg/dl, pada hari kedua 308 mg/dl dan pada hari ketiga 331 mg/dl.

4. Monitoring Intake Zat Gizi Penderita
Pasien tidak memliki alergi dan pantangan terhadap makanan, hanya saja pola makan pasien dirumah tidak teratur. Suka mengkonsumsi daging sapi dan bubur kacang hijau sebagai menu sarapan. Diet yang diberikan selama intervensi adalah diet DM 1900 kal yang dikombinasikan dengan makanan cair.
Pada tahap awal intervensi pasien diberikan makanan lunak bubur dengan frekuensi makanan utama 3x sehari dan makanan selingan 2x sehari. Setelah dilakukan pengamatan terhadap sisa makanan pasien setelah makan siang pada hari pertama didapatkan persentase intake makanan pasien yang kurang yaitu energi sebesar 58,93%, protein 59,10%, lemak 71,07% dan karbohidrat 67,35%. Hal ini disebabkan karena pasien mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Sehingga pada makan sore pasien makanan biasa dikombinasikan dengan makanan cair diabetes mellitus sebesar 150cc. Selain itu bentuk makana pasien diganti dari makanan lunak bubur menjadi makanan lunak bubur blender.
Pada hari kedua, intake makanan pasien belum mencukupi standar kebutuhan yang telah dihitung, sehingga asupan makanan cair mulai dari makan snack sore ditingkatkan setelah dilakukan wawancara kepada pasien dan keluarga pasien bahwa pasien dapat menerima asupan makanan cair dengan baik tanpa mengakibatkan pasien diare. Asupan makanan cair yang diberikan sebanyak 200cc untuk mencukupi kebutuhan nutrisi pasien.
Pada hari ketiga, frekuensi makan pasien adalah 3x makanan utama dan 2x makanan selingan dan makanan cair diberikan sebanyak 6x200 cc. Makanan cair diberikan pada setiap jadwal pemberian makan pasien dan pada malan hari.
Hasil record yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Asupan Zat Gizi Pasien Selama Intervensi
Zat Gizi Asupan Zat Gizi Kebutuhan %
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Rata-rata
Energi 1263 kal 1401,7 kal 1631,9 kal 1432,2 kal 1971,18 kal 72,65
Protein 69,64 gr 75,22 gr 80,54 gr 75,13 gr 100 gr 75,13
Lemak 36,4 gr 28 gr 43,80 gr 36,06 gr 43,80 gr 82,34
Karbohidrat 197 gr 207 gr 294,23 gr 232,74 gr 294,23 gr 79,10

Berdasarkan tabel diatas, terjadi peningkatan intake nutrisi pasien, hal ini disebabkan oleh planning yang dibuat oleh pasien diperbaharui setiap hari berdasarkan kesanggupan pasien dalam menerima asupan makanan. Untuk hasil intervensi selama tiga hari berturut-turut, setelah dilakukan perhitungan record, maka didapatkan rata-rata asupan zat gizi pasien yaitu energi sebesar 1432,2kal (72,65%), protein sebesar 75,13gr (75,13%), lemak sebesar 36,06gr (82,34%) dan karbohidrat sebesar 232,74gr (79,10%). Pada tiga hari dilaksanakan intervensi, asupan makan pasien meningkat karena makanan biaa dikombinasikan dengan makanan cair. Energi yang berasal dari makanan cair setiap hari ditingkatkan karena pasien dapat menerima dengan baik dan tidak terjadi diare.
Konsultasi gizi yang diberikan kepada pasien dan keluarga pasien pada saat pengamatan berlangsung yaitu dengan cara memberikan penjelasan kepada pasien mengenai penatalaksanaan diet yaitu bagaimana mengatur pola makan pasien melalui leaflet diabetes mellitus dan bahan makanan penukar agar pasien dapat mematuhi dan menjalankan diet yang telah diberikan, serta diberikan penjelasan mengenai bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh pasien.
5. Perkembangan Penyakit Penderita
Keadaan pasien selama dirawat di rumah sakit mengalami perkembangan seperti suhu tubuh yang normal, rasa nyeri yang berkurang dan rasa mual muntah juga berkurang.



6. Perkembangan Diit Penderita
Pada awal intervensi, pasien diberikan diet DM 1900 kal dengan bentuk makanan lunak bubur tanpa kombinasi makanan cair. Pada hari yang sama, mulai dari makan sore pasien diberikan kombinasi makanan cair sebesar 150cc. Pada hari kedua diet yang diberikan adalah diet DM 1900 kal dengan kombinasi makanan cair sebesar 150cc dan sore harinya ditingkatkan menjadi 200cc. Pada hari ketiga diet yang diberikan adalah diet DM 1900 kal dengan kombinasi 6x200cc makanan cair. Setelah dilakukan record dan monitoring terhadap pasien pada hari ketiga, untuk hari keempat pasien dapat direncanakan untuk diberikan makanan lunak dalam bentuk bubur tanpa di blender.













BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan diagnosa medis, pasien mendeita penyakit sepsis, abses vulva (Labia Mayora) dan Diabetes Mellitus tipe II.
2. Sebelum masuk rumah sakit, rata-rata asupan zat gizi pasien adalah :
Energi : 64,59%,
Protein : 47,66%,
Karbohidrat : 59,62%
Lemak : 65%
3. Diet yang diberikan selama intervensi adalah diet DM 1900 kal dengan kombinasi makanan cair.
4. Setelah masuk rumah sakit, pasien diberikan diet DM 1900 kal dengan kebutuhan :
Energi : 1971,18 kal
Protein : 100 gr
Karbohidrat : 294,23 gr
Lemak : 43,80 gr
5. Rata-rata asupan zat gizi pasien selama dilaksanakan 3 hari intervensi adalah :
Energi : 1432,2 kal
Protein : 75,13 gr
Karbohidrat : 232,74 gr
Lemak : 36,06 gr

6. Persentase asupan makan pasien selama dilaksanakan 3 hari intervensi adalah :
Energi : 72,65%
Protein : 65,13%
Karbohidrat : 82,34%
Lemak : 79,10%

B. Saran
1. Hendaknya pasien dan keluarga pasien lebih memperhatikan pola makan pasien sesuai dengan jenis, jumlah dan jadwal.
2. Hendaknya pasien lebih memperhatikan dan mengikuti makanan yang dianjurkan dan makanan yang tidak dianjurkan untuk pasien.
3. Hendaknya ahli gizi dapat membantu memperbaiki kebiasaan makan pasien











DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2004). Penuntun Diet Edisi Baru, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.

DEXA MEDIA No. 2, Vol. 19, April - Juni 2006

Oktowaty(2003).Diakses melalui
http://www.questdiagnostics.com/kbase/topic/ medtest/hw4322/results.htm

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Rahman (2007).Diakses melalui http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan. com/msg04523.html

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Sukmaniah, S ‘Nutrisi Pada sepsis’

Sukmawadi (2009). Diakses melalui http://rifkisukmawadi.blogspot.com/2009/05/ terapi-diet-gagal-ginjal kronikckd.html? zx=e3b44886a34c3c3f

Supariasa, dkk (2002) Penilaian Status Gizi. EGC, Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran

Zulkarnain HI. “Penanganan pasien sepsis dan renjatan septic”. In: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I, Bawazier LA, Mansyoer A, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Penyakit Dalam, Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta; 1999.